Siswa PCMS bermain Ansamble Guitar di Festival Citylink Kota Bandung dalam Konser bertajuk “Spirit of 37th PCMS in Harmony
TERASBANDUNG.COM - Suara gitar beradu dengan denting piano. Paduan suara anak-anak bergema riang, diiringi tepuk tangan penonton yang memenuhi area tengah Festival Citylink, Kota Bandung, Minggu (5/10/2025) sore hingga malam.
Di atas panggung, ratusan siswa Purwa Caraka Music Studio (PCMS) menampilkan senyum terbaik mereka, seolah setiap nada adalah perayaan atas perjalanan panjang. Hari itu, musik tak sekadar dimainkan, tapi dirayakan.
Konser bertajuk “Spirit of 37th PCMS in Harmony” menjadi bukti bahwa harmoni yang ditanamkan lebih dari tiga dekade lalu di sebuah rumah kecil di Jalan Mangga No 12, Bandung, kini telah tumbuh menjadi jaringan pendidikan musik yang menyebar ke seluruh Indonesia.
“Kalau kita kilas balik, PCMS pertama kali berdiri di Bandung. Jadi konser ini bukan hanya pertunjukan rutin, tapi juga perayaan lahirnya perjalanan panjang Purwa Caraka Music Studio,” ujar Aditya Purwa Putra, Chief Operating Officer PCMS, di sela acara.
Meski tak bertepatan langsung dengan tanggal berdirinya, momen ini terasa seperti reuni besar. Cabang-cabang PCMS di wilayah Bandung—dari Mangga, Sriwijaya, Bungur, MIM, hingga Sukup—semuanya bergabung dalam satu panggung, satu irama, satu kebanggaan.
Di bawah tema in harmony, berbagai kolaborasi lintas usia dan instrumen tampil silih berganti. Ada Ansamble Guitar “Viva Forever” yang mempertemukan para pemain dari seluruh cabang, Children Choir dengan suara jernih penuh semangat, hingga Teenager Band & Orkestra yang menghadirkan aransemen energik lagu “Satu-Satu” dari HiVi!.
Sorotan juga tertuju pada Kwartet Biola & Kwartet Vokal dengan aransemen khas “Viva La Vida” dan “Save The Last Dance For Me”, serta Ansamble Gitar Elektrik “Sweep Fest” yang memanaskan suasana sore.
Bagi Adit, konser ini bukan sekadar hiburan—tetapi bagian dari pembelajaran itu sendiri. “Pengalaman di atas panggung itu tidak tergantikan,” ujarnya. “Anak-anak bukan hanya belajar teknik, tapi juga keberanian, kerja sama, dan bagaimana menahan ego saat tampil bersama.”
Kali ini, panggung pun berbeda. Bukan auditorium tertutup, melainkan ruang publik di tengah pusat perbelanjaan. “Kalau di mal, anak-anak nggak tahu siapa penontonnya. Rasanya menegangkan, tapi juga seru,” ujar Adit sambil tersenyum, mengenang masa kecilnya ketika pernah berdiri di atas panggung yang sama—sebagai siswa PCMS.
Menurutnya, tampil di ruang publik adalah bagian dari proses membentuk karakter. “Kami ingin mereka merasakan berbagai suasana. Di sinilah mereka belajar tampil di ruang publik dan membangun kepercayaan diri,” katanya.
Sejak didirikan oleh Purwa Tjaraka pada 1 Oktober 1988, PCMS telah melahirkan banyak musisi, performer, dan pengajar musik yang kini berkiprah di berbagai bidang. Dari ruang sempit di Jalan Mangga, kini PCMS memiliki 93 cabang aktif di seluruh Indonesia, dan dua cabang baru siap dibuka dalam waktu dekat.
“Minat anak-anak terhadap musik justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Adit. “Sekarang mereka lebih terekspos lewat dunia digital. Tinggal bagaimana kita mengarahkan supaya minat itu berkembang positif.”
Namun, bagi PCMS, musik bukan sekadar alat menuju popularitas. Ia adalah sarana untuk menumbuhkan empati, disiplin, dan keseimbangan diri.
“Belajar musik punya manfaat besar untuk perkembangan anak—baik dari sisi otak, sosial, maupun mental health. Musik mengajarkan interaksi, kompromi, dan empati,” kata Adit.
Kini, PCMS juga mulai membuka ruang bagi pendidikan inklusif dan pendampingan orang tua, agar manfaat musik bisa dirasakan lebih luas, termasuk bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Karena musik itu universal,” tambahnya.
Purwa Tjaraka, sang pendiri, masih mengingat masa-masa awal perjuangan itu dengan mata berbinar. “Dulu kami nggak nyangka bisa sejauh ini,” tuturnya pelan. “Yang kami pikirkan cuma satu: bagaimana anak-anak Indonesia bisa bermusik dengan baik.”
Baginya, keberhasilan PCMS bertahan hingga 37 tahun bukan karena strategi bisnis yang canggih, melainkan karena kesetiaan pada misi pendidikan.
“Buat kami, yang penting hasilnya bagus, bukan duitnya banyak. Kami bangga kalau bisa dipercaya orang, bisa membina hubungan internasional, dan lihat anak-anak tampil baik. Itu jauh lebih membanggakan daripada angka,” katanya.
Kini, PCMS berkembang menjadi lembaga musik dengan sistem manajemen profesional. Ada divisi khusus yang menangani event, merchandise, hingga pengembangan kurikulum. Semua diarahkan pada satu tujuan: agar musik tetap hidup dan terus menginspirasi generasi muda.
Konser “Spirit of 37th PCMS in Harmony” menjadi simbol perjalanan itu—sebuah perayaan bukan hanya atas usia, tetapi atas nilai. Dari ruang kecil di Bandung, kini PCMS menjelma menjadi gerakan pendidikan musik nasional.
“Selama kami fokus pada pendidikan dan manfaat musik untuk anak-anak,” ujar Adit menutup perbincangan. "Saya percaya, Purwa Caraka Music Studio akan terus tumbuh—seiring irama yang tak pernah padam.”
Malam itu, ketika nada terakhir mengalun dan tepuk tangan menggema, terasa jelas: harmoni yang ditanamkan Purwa Caraka tiga puluh tujuh tahun lalu masih terus bergaung—menemani langkah setiap anak yang belajar menemukan suaranya sendiri. ***