TERASBANDUNG.COM - Perkebunan kakao tersebar luas hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bali merupakan salah satu provinsi yang memanfaatkan kakao sebagai komoditas andalan di daerahnya, khususnya di Kabupaten Jembrana yang memiliki potensi besar dalam sektor perkebunan kakao.

Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tercatat luas perkebunan kakao yang telah mencapai sekitar 4.500 hektar dengan jumlah produksi sebesar 3.000 ton.

Pengolahan biji kakao dan produk turunan lainnya di Kabupaten Jembrana dilakukan dari hulu ke hilir yang sudah berhasil menembus pasar ekspor dengan kualitasnya yang premium (Pemerintah Kabupaten Jembrana, 2024).

Namun demikian, pengolahan kakao yang dilakukan, khususnya pada proses fermentasi dan pengeringan, masih dilakukan secara sederhana. Sebagian besar petani lebih memilih langsung menjual hasil panen biji kakao, tanpa melakukan proses fermentasi.

Sehingga cita rasa coklat yang dihasilkan menjadi tidak konsisten (off flavour), dengan proses pengadukan dan pembalikan yang masih dilakukan secara manual.

Untuk menjawab persoalan tersebut, tim kolaborasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bersama Prof. Dr. Pingkan Aditiawati, M.S., Dr. Eng. Kamarisima, S.Si., M.Si., Dr. Eng. Muhammad Iqbal, S.T., M.T., Dr.Eng Totok Mujiono., Dr. Artnice Mega Fathima.

Serta Ir. Neil Priharto, S.Si., M.T., Ph.D., mengembangkan sebuah fermentor kakao berbasis IoT. Alat ini dirancang agar petani dapat melakukan fermentasi secara lebih terukur, terkontrol, dan efisien.

Pada kegiatan ini, dilakukan sosialisasi proses fermentasi terkontrol dengan penggunaan kultur bakteri serta penggunaan fermentor yang dirancang supaya petani dapat melakukan fermentasi secara terukur, terkontrol, dan efisien.

Terdapat sensor yang dapat memantau temperatur kakao dan lingkungan, tekanan, kelembaban, serta gas yang ada di dalam fermentor secara real-time dengan tampilan di LCD yang dapat dioperasikan dan dilihat dengan mudah oleh para petani.

Selanjutnya terdapat pula rotary motor yang dapat mengaduk dan membalik kakao secara otomatis sehingga fermentasi dapat berjalan dengan merata dan terjadwal.

"Alat ini dirancang hemat daya, mudah dioperasikan, serta mudah dibersihkan sehingga cocok untuk penggunaan skala UMKM maupun koperasi," ujar Dr. Eng. Kamarisima, S.Si., M.Si.

Tim SITH ITB sudah melakukan beberapa kali kunjungan untuk mengintroduksikan kultur bakteri sebagai starter fermentasi kakao, juga mengirim dan memperkenalkan mesin fermentor kepada petani.

Biji kakao masing-masing sebanyak 100 kg dicoba untuk difermentasi secara alami dan terkontrol menggunakan kultur bakteri yang sudah dikarakterisasi sebelumnya.

Starter yang digunakan lalu dievaluasi aktivitasnya dan dibandingkan hasil fermentasinya dengan biji kakao yang difermentasi secara spontan tanpa menggunakan kultur bakteri.

Biji kakao yang difermentasi menggunakan starter bakteri pada kondisi optimum mampu meningkatkan indeks fermentasi menjadi 80% dengan kualitas biji masuk kategori AA dan

mengubah cita rasa menjadi pahit dengan aroma coklat cukup kuat, asam, dan berwarna cokelat lebih gelap.

Alat fermentor berbasis IoT ini dirancang dan diuji coba terlebih dahulu di Kampus ITB Ganesha untuk fermentasi sekunder biji kakao dengan total berat 40 kg selama 15 jam, sebelum kemudian dikirim dan diperkenalkan ke petani kakao yang ada di Kabupaten Jembrana.

Bagi daerah seperti Jembrana, Bali, yang memiliki produksi kakao cukup baik namun masih mengandalkan fermentasi tradisional, teknologi ini berpotensi membawa lonjakan kualitas dan nilai ekonomi.

"Adopsi fermentor IoT bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membawa petani menuju masa depan pertanian berbasis digital yang lebih maju dan kompetitif. Inovasi ini diharapkan dapat membantu petani meningkatkan nilai jual biji kakao dan mendorong transformasi digital pascapanen di Indonesia," harapnya.***