Ilustrasi ibadah Haji/Pixabay.
RAGAM NUSANTARA - Berakhirnya pelaksanaan wukuf di Arafah, berarti jemaah sah menyandang gelar haji.
Saling salaman bahkan sembari sambil mencium pipi tampak di berbagai sudut gang tenda di Arafah sejak selesai dilaksanakan ritus wukuf yang dimulai dari khutbah wukuf, salat zuhur dan asar dengan cara jama` dan qashar, serta doa.
Suasana saling memberi selamat semakin meriah saat masa wukuf di Arafah berakhir waktu magrib.
Meskipun sehari semalam hanya mengenakan kain ihram dan tak sempat mandi, mereka berangkulan. Debu, kotoran, dan keringat yang menempel di badan menambah kebahagiaan mereka berhasil melaksanakan wukuf.
Sebagian jemaah haji melaksanakan salat magrib dan isa di Arafah dengan cara qashr dan jamak taqdim. Namun sebagian jemaah segera berangkat ke Muzdalifah begitu azan magrib berkumandang.
Gelar haji tergolong cukup unik karena hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu.
Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Sejarahnya dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari pesantren," ungkap Agus Sunyoto dikutip dari laman resmi NU.
Menurut Agus Sunyoto para penjajah kolonialis Belanda, sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan.
"Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," tegas Penulis buku berjudul Atlas Wali Songo.
Maka untuk memudahkan pengawasan, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji.
"Untuk apa diberi gelar haji? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji," ungkap Agus Sunyoto.
Menurut Agus yang juga dosen STAINU Jakarta itu, adapun sebutan atau panggilan “Ya Haj” yang ada di Timur Tengah hanya bersifat verbal atau ucapan penghormatan saja.
Pasalnya pemerintahan di Arab Saudi pada saat itu tidak mengeluarkan sertifikat haji.
Tak aneh jika penjajah Belanda saat itu mendirikan karantina jemaah haji di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan.
Pulau-pulau itu dijadikan gerbang utama jalur lalu lintas perhajian Indonesia dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”.**