RAGAM NUSANTARA - India memastikan rencana Bank Sentral (RBI) mengeluarkan mata uang digital (CBDC) pada tahun anggaran depan, hal ini di sampaikan oleh Mentri Keuangan India Nirmala Sitharaman.
Hal ini disampaikan dalam jumpa pers membahas anggaran belanja tahunan, 1 Februari silam.
Peluncuran rupee digital memungkinkan manajemen mata uang yang lebih murah dan efisien, klaim Sitharaman.
Keberadaannya akan memajukan perekonomian digital dan menjadi alternatif terhadap mata uang kripto yang semakin digandrungi.
Bisnis kripto yang marak ditanggapi selama ini ditanggapi secara skeptis oleh otoritas di New Delhi.
Perdana Menteri Narendra Modi bahkan pernah menyebut mata uang kripto "bisa merusak kaum muda kita.”
Perdagangan mata uang kripto dinilai bisa menjadi ancaman bagi makro ekonomi dan stabilitas pasar uang. Ia juga sejak lama dicurigai menjadi alat pencucian uang, atau pembiayaan teror.
Pemerintah memeperkirakan terdapat hingga 20 juta investor di India, dengan total aset senilai lebih dari USD 5 miliar.
Bersamaan dengan rupee digital, India juga memberlakukan pajak sebesar 30 persen bagi transaksi digital dengan mata uang kripto.
"Kami secara berhati-hati mempelajari dan mempersiapkan diri karena banyaknya risiko. Risiko terbesar terkait dengan isu keamanan siber dan kemungkinan pemalsuan,” kata Gubernur RBI, Shaktikanta Das kepada media pekan lalu.
India akan menjadi salah satu perekonomian paling besar dunia yang meluncurkan mata uang digital.
Sebelumnya, Cina sudah lebih dulu memulai pengembangan mata uang digital pada 2014, sebagaimana juga Jepang.
"Efisiensi transaksi akan meningkat, karena CBDC mengurangi biaya transaksi, termasuk memotong waktu transkasi,”kata Lekha Chakraborty, ekonom dar Institut Kebijakan Finansial Nasional, kepada DW.
Dia meyakini, mata uang digital akan mempermudah kebijakan moneter terpusat dan transaksi lintas negara.
"CBDC bisa memperkuat koordinasi keuangan dan moneter. Terlebih, ia juga mendukung inovasi keuangan dan memperkuat kewiraswastaan, terutama karena mempermudah dan mempercepat transaksi antarnegara,” kata Chakraborty.
Minat negara-negara berekonomi besar terhadap mata uang digital semakin menguat seiring maraknya transaksi mata uang kripto.
Pengembangannya dipercepat antara lain karena pandemi corona yang menyulitkan transaksi mata uang tunai.
Namun demikian, rupee digital dinilai masih membutuhkan waktu untuk bisa diterima secara luas.
Pemakaiannya juga terbatas secara geografis karena hanya diterima sebagai alat transaksi di negara-negara yang mengakuinya.
Dalam kasus bunga bank, mata uang digital juga dikhawatirkan bakal berdampak terhadap sistem perbankan.
Terutama dalam periode ketidakpastian selama masa transisi, nasabah bisa bermigrasi keluar dari bank komersil dan memicu krisis keuangan.
Sejumlah ekonomis mengimbau agar CBDC didesain untuk memaksimalkan kontrol pemerintah. Namun demikian, sebagian pakar lain menilai pendekatan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setiap perekonomian, bukan melalui kebijakan tunggal.
"Tantangannya antara lain ada pada kerahasiaan data dan kepercayaan. Karena CBDC didesain berdasarkan anonimitas, integritas keuangan menjadi krusial.
Jika tidak, mata uang ini bisa digunakan untuk menyembunyikan pencucian uang atau penggelapan pajak,” kata Chakrabortty. ***
Penulis: Ade Kesuma Armada | Editor: Ade Kesuma Armada