RAGAM NUSANTARA - Air adalah sumber kehidupan dan Kota Bandung punya satu sumber air yang sudah ada sejak 1921. Namanya Gedong Cai Tjibadak yang terletak di Kelurahan Ledeng, Bandung.
Perlu waktu setengah jam dari pusat kota untuk sampai ke sini. Aksesnya melalui samping Terminal Ledeng dan bisa dilewati oleh sepeda motor atau berjalan kaki.
Dikutip dari keterangan pers Humas Pemkot Bandung, sepekan sebelumnya, Gedong Cai Tjibadak merayakan 100 tahun berdiri.
Ya, walau usianya satu dekade namun sampai saat ini Gedong Cai Tjibadak masih jadi salah satu sumber mata air bagi masyarakat Kota Bandung.
Yadi Supriyadi, Ketua Yayasan CAI, kelompok masyarakat yang merawat kawasan Gedong Cai Tjibadak mengisahkan, Gedong Cai Tjibadak dibangun di era Wali Kota Bandung pertama, Bertus Coops.
Pembangunan sumber air ini berawal dari pencetusan Bandung yang diproyeksikan menjadi ibu kota Hindia Belanda saat itu.
Informasi lainnya menyebut sumber air ini dibangun saat Pemerintah Hindia Belanda kala itu sedang berhadapan dengan wabah kolera.
Hadirnya Gedong Cai Tjibadak juga merupakan upaya Pemerintah Bandung kala itu menyediakan air bersih buat masyarakat.
Filosofi nama Tjibadak itu sendiri berangkat dari nama cai badag dalam bahasa Sunda, alias air yang besar dalam bahasa Indonesia.
Namun, ada pula sumber yang menyebut penamaan Cibadak berasal dari kondisi di kawasan ini yang dulunya dihuni badak.
Kabarnya, nama wilayah Ledeng juga berawal dari istilah Waterleiding di era kolonial Belanda. Waterlaiding itu sendiri berarti air yang besar.
Kehebatan dan anugerah Gedong Cai Tjibadak tercermin dari limpahan air yang banyak. Saat itu, Gedong Cai Tjibadak menghasilkan debit air 50 liter per-detik.
Jumlah ini menurut Yadi mengalami surplus. Hanya perlu 20 persen saja jumlah air di sini bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bandung.
Pada perjalanannya, Gedong Cai Tjibadak terus menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Kota Bandung.
Waktu silih berganti, hingga memasuki dekade 2010-an, debit air di Gedong Cai Tjibadak menyusut cukup jauh, hingga 18 liter per detik.
Penurunan ini kemudian jadi konsen Pemerintah Kota Bandung beserta masyarakat untuk sama-sama melakukan konservasi.
Secara bertahap, kolaborasi Pemkot dan masyarakat pun dibangun. Akses menuju Gedong Cai diperbaiki, demikian pula sumber airnya.
“Konservasi tersebut berbuah hasil. Debit air yang menyusut sampai 18 liter, kini menjadi 22 liter,” terang Yadi.
Peningkatan ini tidak lantas membuat pemerintah dan masyarakat terlena. Kolaborasi menjaga alam di kawasan Gedong Cai Tjibadak terus dijalankan.
Demikian pula sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, bahwa Kota Bandung punya sumber air yang usianya satu dekade.
Dalam kesempatan yang sama, Lurah Ledeng, Budi Prasetio menuturkan, Gedong Cai jadi suatu kebanggaan bagi Kelurahan Ledeng.
Apalagi bangunan tersebut bersejarah dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Kota Bandung. “Di sini banyak potensi yang kita miliki,” terang Budi.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan saat ini upaya Pemkot Bandung lewat Kelurahan dalam menjaga kawasan ini antara lain dengan merevitalisasinya.
Bangunan yang kini menjadi kawasan heritage tersebut dipagar dan dijaga agar tidak mudah tersentuh. Demikian pula cat dan bangunannya yang dikembalikan seperti tampilan awal di zaman kolonial Belanda.
Sebagai informasi, ulang tahun ke-100 Gedong Cai Tjibadak dihadiri pula oleh Plt. Wali Kota Bandung Yana Mulyana pada 29 Desember 2021 silam.
Dalam kesempatan tersebut, Yana mengapresiasi seluruh pihak yang sama-sama menjaga hingga Gedong Cai Tjibadak berusia 100 tahun.
Ia berpesan agar konservasi tersebut terus dijaga dengan baik. Mulai dari pemanfaatan lahan, ruang untuk habitat flora dan fauna.
"Terutama pengamanan aset, juga fungsi seke sebagai mata air di tempat ini. Mudah-mudahan kembali memberikan sumber air baku bisa dimanfaatkan kepada warga Kota Bandung," ujar Yana saat menghadiri acara ulang tahun ke-100 Gedong Cai Tjibadak.
Budi berharap selebrasi 100 tahun Gedong Cai Tjibadak bukan sekadar selebrasi belaka. Ia berharap sumber air ini dapat menjadi sumber kehidupan masyarakat Bandung tanpa henti.
“Semoga terus mengalir dan anak-cucu kita bisa ketemu di 100 tahun dan 100 tahun ke depan,” tutur Budi.***
Penulis: Muhammad Taufik | Editor: Muhammad Taufik