RAGAM NUSANTARA - Marc Klok dan kawan-kawan baru saja merebut medali perunggu cabang sepakbola SEA Games 2021 di Vietnam.
Timnas Indonesia U-23 mengalahkan Malaysia melalui babak adu penalti setelah laga waktu normal berakhir dengan skor 1-1. Tanpa perpanjangan waktu, babak adu penalti langsung dilakukan guna menentukan pemenang.
Klok tampil sebagai penendang terakhir yang memastikan kemenangan Indonesia dengan skor 4-3 di babak adu jitu tendangan 12 pas.
Begitu sulitnya Timnas Indonesia menyabet medali emas sepanjang sejarah SEA Games. Begini cerita legendaris sepakbola Indonesia Iswadi Idris seperti dilansir dari laman resmi PSSI.
Baca Juga: Tahun 2027 Kendaraan Bermotor Gunakan Plat Nomor Putih, Prioritas Kendaraan Baru dan yang Dimutasi
Kurang apa Iswadi Idris? Salah-satu pemain brilian paling berbakat yang pernah ada di Indonesia. Kapten dan jenderal lapangan yang sangat dihormati rekan-rekannya sesama legenda di timnas.
Tapi bersama pemain bintang lainnya di era itu, Iswadi dua kali gagal merebut emas SEA Games 1977 dan 1979.
"Ada saja halangannya," ujar pria yang akabr disapa Bang Is terkait kegagalan Indonesia (kalah 0-6 dari Thailand, 0-1 dari Vietnam dan menang 1-0 atas Laos) di fase grup SEA Games Hanoi 2003.
Bahkan ketika dia diberi kepercayaan membawa timnas Garuda di SEA Games 1983 dan 1989, sebagai pelatih. Kurang apa dedikasi Ketua Umum PSSI (1977-1981) Letjen KKO/Marinir (Pur) Ali Sadikin saat mengantar perjuangan Andi Lala dan kawan-kawan di SEA Games 1977 dengan optimisme penuh.
Baca Juga: Heboh Lowongan Kerja Suami Bayaran Berhadiah Mobil, Tanah dan Uang Tunai
Karena tim asuhan Suwardi Arland ketika itu adalah "The Dream Team". Raja Asia Tenggara. Di fase grup menaklukkan tuan rumah Malaysia, 2-1, yang kemudian menjadi juara SEA Games 1977. Tapi keributan dan perkelahian di semifinal saat melawan Thailand akibat ulah wasit Othman Omar asal Malaysia, menyebabkan Idwadi Idris cs pulang tanpa hasil.
"Itu kenangan paling pahit," jelas sang pencetak gol pertama Indonesia dalam sejarah SEA Games itu.
Jelang SEA Games Jakarta 1979, Bang Ali mendatangkan khusus pelatih kawakan asal Belanda, Wiel Coerver. Misinya: Merebut medali emas yang sempat tertunda di SEA-Games Kuala Lumpur 1977.
Tapi hasilnya? Iswadi Idris dkk kembali gagal. Dalam partai final di Stadion Utama GBK pada 30 September 1979 di hadapan lebih 90 ribu penonton, pemain bintang Indonesia mulai Iswadi, Ronny Pattinasarani, Simson Rumapasal, Rudy Keltjes, Wayan Diana, Rully Nere, Dede Sulaiman, Joko Malis hingga Risdianto, justru dikalahkan Malaysia (0-1).
Baca Juga: Dihantui Mimpi Buruk, Komploton Pencuri Kembalikan Patung Budha yang Dicurinya
Sejak Ali Sadikin, sudah 10 Ketua Umum PSSI bergonta ganti. Baru di era Marsekal Madya TNI (Pur) Kardono (1983-1991) Indonesia berhasil merebut medali emas SEA Games (1987 dan 1991).
Kardono juga sempat dipersalahkan ketika timnas Garuda yang ditangani Harry Tjong dibantai tuan rumah Thailand (0-7) di semifinal SEA Games 1985. Dikritik pula kebijakan PSSI menunjuk Bertje Matulapelwa menggantikan Tjong.
"Mengapa tidak sekalian saja ambil pelatih dari Eropa..??" Tapi Kardono tetap teguh pada keputusannya. Bertje membayar lunas kepercayaan Kardono. Dia membawa Indonesia ke semifinal Asian Games Seoul 1986, juara Piala Kemerdekaan 1987 dan merebut medali emas SEA Games Jakarta 1987.
Kardono juga mendapat banyak kritikan ketika menunjuk pelatih asal Rusia (waktu itu Uni Soviet) Anatoly Polosin, 1990. Setelah kegagalan trio pelatih BASISKA (M.Basri, Iswadi Idris, Abdul Kadir) mempertahankan emas (kalah 0-1 dari Singapura di semifinal) SEA Games Kuala Lumpur 1989 meskipun berhasil merebut medali perunggu. Pertanyaan sejenis bermunculan.
Baca Juga: Stadion GBLA Memerlukan Perbaikan Tapi Masih Layak Digunakan, Sudah Bisa Jadi Kandang Persib?
Mengapa harus dari Rusia..?? Kenapa bukan dari Brasil, Jerman, Belanda atau Italia..!! Tapi Kardono yakin pada kebijakannya.
"Polosin adalah pelatih yang berkarakter. Itu yang kita butuhkan di timnas," jelas Kardono ketika itu.
Kritikan utama selanjutnya kepada Polosin kala itu karena latihan fisik sangat berat.
Di awal, Polosin menerapkan porsi latihan fisik sampai 95%. Teknisnya hanya 5%. Sehingga ada satu dua "pemain bintang" yang mundur dari pelatnas.
Baca Juga: Miyabi Gelar Gala Dinner di Jakarta, Segini Tarifnya dan Tanggapan Polisi
"Jika level teknis kita dengan lawan sama, lalu apa yang bisa menjadi kelebihan kita selain ketahanan fisik," jawab Polosin tempo itu yang memang ditargetkan merebut emas SEA Games Manila 1991.
Hasilnya, Polosin menjawab tuntas semua keraguan itu dengan: medali emas SEA-Games Manila 1991. "Kami bermain seperti tidak mengenal lelah," ujar kapten Ferryl Raymond Hattu.
Saat ini, kurang apa dedikasi dan kerja keras Ketua Umum PSSI Komjen Pol (P) Mochamad Iriawan. Di awal kepemimpinannya, Garuda Muda yang ditangani Indra Sjafri mampu ke final SEA-Games Manila 2019.
Iwan Bule sudah melakukan segalanya untuk mendukung perjuangan Garuda Muda di SEA Games Hanoi 2022.
Baca Juga: Mesut Ozil Segera Gabung RANS Cilegon FC? Begini Penjelasan Raffi Ahmad
Mungkin lebih dari sekadar yang kita tahu di permukaan. "Kita harus terus berjuang untuk Merah Putih. Untuk 272 juta rakyat Indonesia. Jangan pernah menyerah," tegas Iwan Bule kepada para pemain Garuda Muda seusai partai semifinal lawan Thailand (0-1), 19 Mei lalu.
Kita sepertinya harus lebih sabar menunggu kapan Shin Tae-yong bisa membayar lunas kepercayaan penuh dari Iwan Bule. Semua orang bisa melihat, para pemain Garuda Muda sangatlah berkualitas. Rakyat Indonesia menyaksikan langsung bagaimana perjuangan luar biasa Fachrudin Aryanto dan kawan-kawan.
Tapi seperti kata Iswadi Idris: "ada saja halangannya". Barangkali, medali emas SEA Games belum sepenuhnya bersahabat dengan Indonesia.
Sudah 26 pelatih berganti sejak Suwardi Arland tahun 1977 hingga Shin Tae-yong hari ini. Kita baru berhasil merebut dua medali emas, lima perak dan empat perunggu.
Tapi seperti spirit Iwan Bule: Perjuangan harus terus dilanjutkan. Karena membangun timnas adalah proses yang tidak akan pernah selesai. Never ending process. Bisa jatuh-bangun seperti di negara-negara lain.**
Penulis: Teguh Nurtanto | Editor: Teguh Nurtanto